KISAH PERJUANGAN
DR. dr. H. R. Soeharto
Mayor Jenderal Kehormatan
Perjuangan DR. dr. H. R. Soeharto Mayor Jenderal Kehormatan untuk bangsa dan negara Republik Indonesia, sangat mendasar dan signifikan. Untuk memudahkan memahami perjuangan Dr. R. Soeharto Mayor Jendral Kehormatan maka dibagi secara tematis kronologis sebagai berikut:
- Perjuangan pada masa pergerakan nasional.
- Perjuangan pada masa pendudukan Jepang.
- Perjuangan di sekitar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan.
- Perjuangan sebagai Ketua/Wakil Ketua Fonds Kemerdekaan.
- Perjuangan dalam mendirikan BNI 46.
- Perjuangan sebagai Kepala Administrasi Militer Pusat.
- Perjuangan dalam mendirikan Ikatan Dokter Indonesia.
- Perjuangan dalam mendirikan PKBI.
(Alm.) Dr. dr. H. R. Soeharto Mayor Jenderal Kehormatan dilahirkan di Tegalgondo, Jawa Tengah, pada 24 Desember 1908. Sepak terjang pertama beliau dimulai dengan bergabung di dalam Jong Java, organisasi pergerakan yang beranggotakan para pemuda, sejak masa bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Madiun. Di tahun 1928, beliau meneruskan pendidikan di Geneeskundige Hooge School (GHS), cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beliau memiliki peran penting dalam Kongres Pemuda I pada tahun 1926 dan Kongres Pemuda II pada tahun 1928, yang pada akhirnya melahirkan Sumpah Pemuda. Dr. Soeharto mendapatkan gelar Arts atau dokter pada tahun 1935, lantas berkarir dengan berpraktik mandiri di Gang Ajudan II, lalu di Jl. Kramat 128 . Beliau mendapatkan gelar Doktor (Dr) atau Medicinae Doctorem (MD) pada tahun 1937, dengan Prof C. Bonne, pakar patologi anatomi, sebagai promotor. Di tahun 1943, beliau menjadi Kepala Bagian Kesehatan Pusat Tenaga Rakyat (POETRA) di bawah pimpinan Empat Serangkai: Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K. H. Mansyur. Dari saat ini, hubungan akrab beliau dengan tokoh-tokoh nasional ini mulai terjalin. Di tahun 1944, beliau diangkat menjadi bendahara atau wakil ketua Fonds Kemerdekaan Indonesia yang memiliki tugas untuk membiayai perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menyediakan modal untuk pembentukan bank pertama yang dimiliki oleh Indonesia. Pada tanggal 9-14 Agustus 1945, Alm. Dr. R. Soeharto menyertai Bung Karno, Bung Hatta, dan K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat ke Dalat, Indochina, di mana Marsekal Terauchi melantik Bung Karno dan Bung Hatta menjadi Ketua dan Wakil Ketua BPUPKI (Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di kliniknya di Jl. Kramat 128 pun, beliau sering memfasilitasi pertemuan rahasia dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, beberapa jam sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno ditemukan demam. Setelah melakukan pemeriksaan, Dr. Soeharto menyimpulkan bahwa Bung Karno terkena malaria. Beliau pun mengobati Bung Karno dengan suntikan chinine-urethran intramesculair dan obat broom chinine.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, Dr. Soeharto dipilih menjadi Pengurus Pusat Bank Indonesia yang merupakan cikal bakal dari BNI 46, bersama dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Moh. Hatta, dr. Moewardi, Djohar, Mr. Mardanus, Ir. Surachman, dan Supeno. Pendirian Bank Indonesia diprakarsai oleh R. M. Margono Djojohadikoesoemo dengan modal Rp340.000,00 dari Fonds Kemerdekaan Indonesia. Dalam waktu satu bulan, terkumpul uang dari masyarakat sebanyak Rp31.000.000,00.
Ketika ibukota negara Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta pada awal bulan Mei 1946, Dr. Soeharto ditugaskan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta untuk menyelenggarakan urusan keuangan di Kementerian Pertahanan karena perangai beliau yang dikenal oleh berbagai kalangan, baik tentara, pejabat sipil, maupun tokoh pemuda. Beliau kemudian diangkat menjadi Ketua Administrasi Militer Pusat di Kementerian Pertahanan, sehingga beliau kemudian mendapatkan pangkat Kapten Kehormatan dari Panglima Divisi Siliwangi Mayor Jenderal A. H. Nasution.
Pada tanggal 24 Januari 1946, di Gedung S. M. T. Kotabaru, Yogyakarta, Dr. Soeharto menjadi salah satu dari beberapa kaum intelektual yang mendiskusikan kemungkinan didirikannya sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta yang menjadi cikal bakal Universitas Gadjah Mada. Yayasan Gadjah Mada menjadi dorongan moral yang akhirnya menjadi pemantik unutk berdirinya beberapa lembaga pendidikan tinggi yang meliputi Sekolah Teknik oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan; Perguruan Tinggi Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Farmasi oleh Kementerian Kesehatan; Perguruan Tinggi Pertanian dan Kedokteran Hewan oleh Kementerian Pertanian; dan Balai Pendidikan Ahli hukum oleh Kementerian Kehakiman. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 23 tanggal 19 Desember 1949, semua lembaga pendidikan itu digabungkan dan berdirilah Universiteit Negeri Gadjah Mada.
Pada pasca kemerdekaan, terdapat organisasi kedokteran yang bernama Persatuan Dokter Indonesia, yang bernama Vereniging van Indonesische Geneeskundige (VIG) pada masa kolonialisme Belanda dan diubah menjadi Jawa Izi Hooko Kai pada masa penjajahan Jepang. Di saat yang sama, organisasi kedokteran lain bernama Persatuan Thabib Indonesia juga berkembang. Dr. Soeharto menilai adanya kebutuhan untuk membentuk penyatuan dari kedua organisasi ini, ditambah beliau merasa bahwa organisasi ini sudah dirusak oleh penjajahan Jepang karena dijadikan alat politisasi, serta lingkup kerjanya hanya terbatas di Pulau Jawa. Beliau pun merapatkan pemikiran ini dengan dr. Abdul Rasjid dari Perthabin dan PD-PDI pada tanggal 3 Juli 1950 di Jl. Kramat Raya 129. Atas usul dr. Seno Sastroamidjojo, dibentuklah panitia Penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia (PMDWNI) yang diketahui oleh dr. Bahder Djohan. Muktamar ini diadakan di Deca Park pada tanggal 23-25 September 1950 dan dihadiri oleh 191 dokter WNI, yang 62 di antaranya berasal dari luar Jakarta, dan menjadi dasar berdirinya perkumpulan baru bernama Ikatan Dokter Indonesia. dr. Sarwono Prawirohardjo dipilih menjadi Ketua Umum IDI yang pertama.
Pada tahun 1957, Dr. Soeharto berkenalan dengan tokoh-tokoh dari International Planned Parenthood Federation (IPPF), yaitu Ny. Dorothy Bush, dr. Abraham Stone, dan Margareth Sanger. “Birth control” pun menjadi perhatian bagi Dr. Soeharto untuk memperbaiki kesejahteraan dan kesehatan ibu anak karena tingkat kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi pada masa itu. Beliau pun mendirikan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di gedung milik IDI di Jl. Sam Ratulangie 29 pada tahun 23 Desember 1957. Melalui organisasi ini, Dr. Soeharto dan para rekan dari berbagai profesi mensosialisasikan gagasan keluarga berencana dengan adanya pengaturan kehamilan, bantuan persalinan, dan juga pemberian nasihat perkawinan.